Pages

 

Selasa, 27 Mei 2014

Goresan Pena Penjahat Hati

0 komentar
Dikala malam datang, tak ada bulan, tak ada bintang. Hanya ada gelap malam yang mencekam. Akhirnya aku bertanya pada sang malam. Salahkah aku mencintainya wahai sang malam? Seketika malam menjadi merah tak lagi hitam, kemudian terdengar suara

"Kamu ya kamu. Kamu tidak pernah serius. Kau sering bilang padaku untuk lebih serius, nyatanya kamu sendiri tidak pernah serius.
Orang yang katanya PERTAMA DAN TERAKHIR kau tinggalkan. Kamu tidak ada benarnya! Orang yang katanya paling mengerti kamu, kau tinggal pula. Sekarang kau mengharapkan kasih seorang bidadari yang turun dari gunung. Jangan harap kau bisa merebut kebahagiaan orang lain lagi! Kau tak pantas menjadi manusia bahagia. Kau tak layak. Kau tak baik untuk mereka. Tak satupun dari umat manusia pantas mendampingimu. Hanya sepi yang pantas untuk menemani sisa hidupmu. Kau.... Kau... Kau...."

Sudahlah, aku tak kuasa mendengar kata-katanya yang begitu menyesakan dada. Saat itu seakan seluruh alam semesta meyatakan bersalah padaku.

"Jangan kau rebut kebahagiaan orang lain..."
"Sadarlah wahai penjahat hati..."
"Kamu hanya mempermainkan hati anak orang..."
"Kau bukan Tuhan yang berhak dan bisa membolak-balikan hati anak orang..."

Banyak lagi kata-kata yang tak kuasa lagi ku ingat. Aku semakin tersudut di ruangan kecil penuh derita. Malam seakan menerkam diriku yang sepi sendiri. Aku sudah tak kuasa berkata-kata untuk memberikan alibi pada sang malam. Kini aku hanya menyampaikan alibi ini pada diriku sendiri. Entah ini retorika belaka atau ini realita. Entahlah, hanya pengakuan dari para wayang dan petunjuk dalang yang bisa menjawab.

"Rasanya bukan aku yang meninggalkan mereka, tapi akulah yang ditinggalkan" gumamku pada hati yang beku. Mari kita flash back ke cerita masa lalu.

Pertama dan terakhir, ya kata-kata itu sungguh menarik dan mempunyai keajaiban tersendiri, namun apa daya inginku tidak seperti inginnya. Aku ingin mengejar cita-cita ku, aku ingin mengejar target-target yang sudah ku susun, aku ingin terbebas dari batasan dirinya. Aku ingin cintaku mengikuti itu dan berada di posisi setelah cita ku.

"Ya AKU SALAH, AKU TIDAK PERNAH MEMPERDULIKAN PERASAANNYA. AKU EGOIS. AKU APATIS. AKU HANYA PEDULI BAGAIMANA SEMUA RENCANAKU BERJALAN SEMPURNA TANPA MELIHAT PERASAANNYA", teriak ku dalam hati.

Aku juga perlu tempat bercerita, menyapaikan permasalahanku, kesedihanku, kesenanganku dan mengerti diriku. Aku menemukan sahabatku seperti itu dan aku juga sempat terlintas bahwa, mengapa sahabatku lebih mengerti daripada orang yang katanya menyayangiku, tapi dalam pikiranku tak sedikitpun terbayang bahwa aku akan meninggalkan orang pertama demi sahabat yang sangat mengerti diriku.

Aku masih menghargai pengorbananmu dek. Aku masih menganggap kamu sebagai orang yang kupunya. Hanya saja aku tidak mau terikat dan aku ingin bebas merasakan alam yang luas, terbang tinggi di angkasa. Tapi kamu sepertinya tak mengerti inginku dek dan inginmu juga berbeda dengan inginku dek.

"Ya INGIN KITA BERBEDA DAN ITU JUGA SALAHKU. SEMUA SAJA SALAHKU", ocehku pada diri sendiri yang tak tersampaikan pada sang malam.

Sulit sekali rasanya berkomunikasi denganmu dek. Selalu saja ada adu mulut yang terjadi ketika kita berbicara yang entah dimana permasalahannya, sehingga jalan yang semoga menenangkanmu adalah kita saling berdiam diri dan berjalan pada jalannya masing-masing dulu. Kemudian karena dirasa aku bukan orang baik, aku beri kebebasan kamu untuk memilih, dan ternyata benar kamu memilih untuk bersama orang lain.

"Ya ITU SALAHKU JUGA TIDAK PERNAH MENGERTI DIRINYA DAN TAK PERNAH MEMPERDULIKANNYA", ucapku untuk memuaskan malam menyiksa jiwaku.

Sudahlah aku tak mau mencari kambing hitam untuk kisah ini. Ku akhiri saja cerita ini sampai disini. Biarkan malam, alam semesta dan segala isinya tahu bahwa itu salahku. YA SALAHKU SANG PENJAHAT HATI.

Akhirnya aku memutuskan untuk bersama dengan orang yang paling mengerti diriku, bisa menerimaku apa adanya, bisa menghargai visi dan citaku kedepan, bisa mendukung dan memberikan motivasi untukku, bisa memberikanku kebebasan yang leluasa dan membantuku terbang diangkasa. Dia adalah sahabatku yang selalu ada buatku dan kini kembali menjadi sahabat baikku. Kali ini aku tak mau dibuat salah lagi oleh sang malam.

"Kami saling mengerti dan memahami,,,,"
"Tidak bukan kami, tapi dia. Dia mengerti dan paham keadaanku. Dia tahu hitam-putihnya hidupku. Namun apalah daya, tak ada 'restu' sang ibu bapak. Sementara ini disudahi saja dan dia menyetujinya,,,"
"Tidak bukan dia, tapi kami. Kami menyetujui perpisahan itu, demi kebaikan bersama. AKU TIDAK MENINGGALKANNYA."

Sudahlah, Malam yang gelap takan memihak kepadaku. Malam hanya akan menerima jika aku menyatakan bahwa aku meninggalkan mereka untuk merebut taqdir yang lebih baik.

Ya, BENAR aku mengharapkannya, tapi tidak untuk aku rebut dari orang lain. Biarkan dia menyadari bahwa aku mengharapkannya, biarkan dia tahu diriku apa adanya, biarkan dia merasakan kasih sayang yang kuberikan, biarkan dia tahu bahwa aku tak sempurna dan biarkan dia dengan sendirinya memilihku agar tidak menyesal di kemudian hari. Berharap dia bisa bersamaku, menemaniku, menghapus kesendirianku dan kesepian ini.

"WAHAI SANG MALAM TIDAK KARENA ITU LANTAS AKU MENIGGALKAN MEREKA. DAN AKU TIDAK MENINGGALKAN MEREKA", jeritku dalam sepi.

Aku tak tahu apakah orang pertama mengerti kondisi ini, namun ku tahu dia sudah menjadi wanita shalehah yang kuat dan selalu tegar. Aku yakin dia wanita yang luar biasa, dia sudah jauh lebih baik dari sampah yang telah meninggalkannya ini. Bahagialah orang yang bisa mengerti dirinya.

Dan yang aku tahu, sahabatku pasti mengerti. Sahabatku tahu rasaku. Sahabatku adalah orang kuat, orang hebat, orang yang pantang menyerah, orang yang mempunyai etika luar biasa. Dialah orang yang tidak mudah terbawa arus dengan mudah. Hatinya lembut, namun tak goyah di hantam badai. Kita harus "move on" bersama-sama sahabatku. Doakan aku bisa berhasil keluar dari zona dingin ini, dan aku juga pasti mendoakanmu wahai sahabatku. Pasti ku doakan dirimu menjadi yang terbaik.

Ah Sang Malam ini memang kejam sekali, menyudutkanku di ruangan yang sepi dan dingin ini. Membuatku menuliskan kisahku. Membuatku BERSALAH dan TERKURUNG DALAM PENJARA JIWA. Kini kau telah lihat wahai malam, betapa buruknya diriku yang mengharapkan bidadari turun dari gunung mengantarkan selendang miliknya untuk aku ambil. Hal yang entah kapan itu bisa terjadi.

Bidadari yang cantik, ya tidak dipaksapun untuk bilang bahwa dirinya cantik, diriku pasti bilang bidadari itu cantik. Bidadari dengan lesung pipit yang manis. Ah sudahlah, mimpi seorang penjahat hati jangan terlalu berlebihan. Ku akhiri saja tulisan untuk Sang Malam ini sampai disini.

0 komentar:

Posting Komentar